Minggu, 27 Desember 2009

KAPITALISASI MEDIA DAN PERGESERAN IDEOLOGI


Oleh Imron Supriyadi
Hampir semua kalangan mengetahui, fungsi media massa selain sebagai informasi, hiburan dan pendidikan, juga sebagai kontrol sosial. Teori ini, sudah demikian mengakar, terutama dikalangan jurnalis. Atau paling tidak, pengetahuan ini akan diterima oleh mahasiswa semester satu, khususnya yang sedang menempuh mata kuliah jurnalistik. Tidak berlebihan jika kemudian saya berani mengatakan fungsi media massa yang tersebut diatas tadi, sudah seharusnya menjadi “ideologi” (landasan dasar pemikiran) bagi setiap pelaku dan pengelola media massa, cetak maupun elektronik. Namun di tengah upaya menjaga “ideologi” ini, media massa juga dihadapkan pada banyak hal. Salah satunya adalah tuntutan profesionalitas. Tuntutan ini, sudah tentu membutuhkan biaya (cost) tinggi, terutama untuk menyejahterakan para jurnalis-nya. Memberi upah yang layak bagi jurnalis menjadi penting artinya, agar para jurnalis tetap menjaga “ideologi”-nya, dan tidak terkontaminasi oleh “candu amplop”.

Ideologi oplagh
Guna meningkatkan kesejahteraan ini, tentu saja sebuah institusi pers tidak “diharamkan” jika kemudian memburu iklan. Sebab, diakui atau tidak, sudah menjadi rahasia umum jika hidup dan matinya media massa akan sangat ditentukan oleh suntikan iklan. Tetapi ada sebuah kenyataan yang kemudian kita saya miris, ketika sebuah media massa kemudian meninggalkan “ideologi” pers–nya yang notabene sebagai informasi, hiburan, pendidikan dan kontrol sosial, lantas meraup halaman koran atau jam tayang media elektronik dipenuh oleh iklan. Ini memang bukan satu dosa bagi sebuah institusi pers untuk menangguk iklan sebesar-besarnya. Tetapi tanpa mempertimbangkan hak pembaca dan pemirsa yang seharusnya lebih banyak mendapat informasi “berita” dari pada sekedar iklan, ini sebaiknya juga menjadi pertimbangan bagi para pengelola media massa. Kenapa ini menjadi penting? Sebab, selain memang ada undang-undang khusus yang mengatur persentase pemasangan iklan sebesar 20 persen pada media massa, tetapi “meng-agungkan” iklan semata tanpa mempertimbangkan tanggungjawab moral-sosial dan hak masyarakat, juga bagian dari pengingkaran “ideologi” pers itu sendiri. Kecuali jika kemudian semua pengelola institusi pers sepakat, mengganti ideologi media massa ini bukan lagi tanggungjawab moral tetapi ideologi-nya menjadi “oplagh atau iklan”.
Di tengah realitas demokrasi seperti sekarang, kapitalisasi media massa menjadi sesuatu yang tidak asig lagi. Dan konsekuensinya, ideologi media massa sudah mengalami pergeseran, dari “ideologi moral” menjadi “ideologi 0oplagh”. Jumlah eksemplar atau “oplagh” dan pendapatan iklan kini sudah menjadi ideologi. Ironisnya, pernah terjadi pada sebuah media massa di Palembang, sebuah berita yang cukup penting, harus tergusur oleh karena halaman kota dipenuhi iklan. Pada kondisi ini, seorang jurnalis sering dihadapkan pada posisi yang sangat dilematis. Di satu sisi, ingin mengedepankan idealisme-nya tetapi di sisi lain ia juga harus hidup dari iklan. Dengan kenyataan seperti inilah, bukan saja jurnalis pemula atau yang senior sering kesulitan menjaga ideologi-nya untuk tetap mengedepankan pesan-pesan moral-nya ketimbang harus menghujani halaman koran atau tayangan siarannya televisi dan radio dengan iklan. Akibat pergeseran ideologi ini, sering mengakibatkan dis-orientasi seorang jurnalis, dari posisinya sebagai “pemburu berita” menjelma menjadi “pemburu iklan”. Jika ini yang sekarang terjadi, berarti berapa juta jurnalis di Indoensia sedang “terjajah” oleh rupiah.
Mencari penghasilan, memang hak asasi bagi setiap jurnalis. Tetapi, terkooptasi oleh pencarian iklan, tanpa mempertimbangkan nilai-nilai dan moralitas, juga bagian dari proses pembodohan bagi masyarakat, atau juga bagi diri sendiri. Maka menjadi sebuah catatan, jika kemudian dalam Haria Pers Nasional (HPN) 2008, Presiden SBY mencanangkan perlunya sensor bagi setiap berita. Sensor dimasud bukan melalui Menteri Penerangan, melainkan sensor itu dilakukan sendiri oleh media, oleh jurnalis dan redaktur. Pernyataan ini secara langsung atau tidak, sebagai bentuk “keprihatinan” SBY, terhadap sejumlah media massa, yang cenderung mendahulukan oplagh ketimbang moral.

Pegadaian ideologi
Potret buram media dalam era kekinian, ada beberapa sebab yang melatari. Pertama, sebuah institusi media memang dibangun atas dasar “ideologi oplagh”. Sehingga, yang menjadi tujuan adalah bagaimana memperbanyak penjualan dan memburu iklan sebanyak-banyaknya, termasuk liputan sepasang pegantin atau hanya sekedar meng-ekspose khutbah jumat seorang pejabat tinggi di sebuah daerah. Kedua, tidak adanya pencerahan ideologi di kalangan jurnalis. Pencerahan yang saya maksud adalah, proses se-usai rekutment jurnalis, institusi media sangat jarang melakukan pendidikan ideologi bagi para jurnalis yang baru saja diterimanya. Akibatnya, ketika seorang jurnalis turun ke lapangan tidak jarang kemudian terkontaminasi oleh iklim “amplop” yang memang sudah menggurita di setiap pojok instansi pemerintah dan swasta. Ironisnya, hampir semua instansi pemerintah telah mengalokasikan dana untuk “amplop” bagi kalangan jurnalis.
Dengan “keringnya” in-house training ideologi inilah, jurnalis yang secara kebetulan masuk ke sebuah media massa yang dilatari oleh gagalnya test PNS, tentu akan berada pada kegamangan memilih ideologi sebuah media. Belum lagi iklim di lapangan, hampir sudah menjadi siklus (lingkaran syetan) yang sangat berpotensi untuk melakukan pegadaian ideologi. Seorang jurnalis, ada saja yang mengancam membeberkan sebuah “data hitam” kepada seorang kepala instansi tertentu, dengan tujuan untuk mendapatkan ‘upeti’.
Akibat terjadinya dis-orientasi ideologi dalam konteks media massa, nilai-nilai moral kemudian bukan lagi menjadi hal penting, melainkan nilai-nilai nominal rupiah yang kemudian menjadi “ideologi”. Kondisi ini, untuk kemudian banyak dimanfaatkan oleh para pemilik modal untuk “mengupah” dan ‘membeli’ jurnalis yang kemudian membuka media baru dengan kepentingan tertentu. Bila ‘membeli’ jurnalis untuk profesionalitas dalam pengelolaan sebuah media, bukanlah menjadi satu ‘dosa’. Tetapi, memperkerjakan jurnalis dengan membiarkan ‘uli disket’ tenggelam dalam kubangan amplop, ini merupakan tindakan penindasan nyata yang memerlukan perlawanan secara kolektif. Kenapa ini menjadi penting? Sebab, tanpa kejelasan ideologi bagi para jurnalis, maka yang terpikir kemudian bukan bagaimana menjadi jurnalis yang tetap menjaga nilai-nilai dan moralitas, melainkan menceburkan diri “tanpa ideologi” dalam kubangan media massa yang sarat kepentingan, baik yang dilakukan seorang tokoh, atau pemilik modal. Realitas ini sekarang sudah sedemikian kronis, sehingga sebagian masyarakat kita bukan tidak mungkin akan memandang jurnalis hanya sebagai ‘tukang peras’ para pejabat, dari kepala desa sampai tingkat menteri. Sikap ini tidak bisa dipersalahkan. Sebab, sebagian jurnalis kita juga masih menganut ‘aliran media sesat’ ini.
Ada sebuah argumentasi yang kemudian muncul. “Memegang prinsip pada ideologi adalah lapar”. Pola pikir inilah, yang kemudian membenarkan adanya “jual beli” harga diri media massa, sekalipun seorang jurnalis harus menjadi “kacung” dari sebuah kepentingan. Banyak kasus yang mungkin sudah menjadi catatan sejarah media massa. Berapa banyak jurnalis yang kemudian ter-PHK, lantaran menerima uang judi. Atau berapa banyak jurnalis yang kemudian harus “menyembah” kapitalis, dengan tanpa mengindahkan ideologi media massa, yang sudah terpatri di dalam hati nuraninya. Agak sulit memang, menghadapi hunjaman kapitalisme di tengah krisis ideologi. Dan menjadi realitas yang menyedihkan jika kemudian kapitalisme ini lebih menjadi jalur ideologi sebuah institusi media, atau bagi para jurnalisnya sendiri, dari pada harus tetap mengedepankan informasi yang mendidik, menghibur dan mengontrol sebuah kebijakan.
Dengan hunjaman kapitalisme melalui iklan, mungkin secara tidak sadar bahwa media massa juga sedang mengkampayekan “iklan pembodohan”. Memang, tidak semua iklan membodohi tetapi dengan mencerabut ruang keleluasaan informasi yang mendidik dan menggantinya dengan ragam iklan yang belum jelas juntrungannya, juga menjadi berakibat pada bodohnya masyarakat terhadap informasi. Sebab, diakui atau tidak media massa merupakan alat strategis untuk mencerdaskan masyarakat, tetapi seiring dengan itu media massa juga menjadi alat yang strategis pula untuk melakukan pembodohan masyarakat.
Kondisi ini kemudian diperparah dengan masuknya para pemilik modal yang sama sekali tidak mempunyai latarbelakang pers. Ide ini kemudian disambut oleh kalangan eks-jurnalis yang secara kebetulan belum mendapat pekerjaan lain. Gayung pun bersambut. Hasilnya sudah dapat diperkirakan. Bagaimana wajah dan visi sebuah media massa, jika dikelola oleh tim kerja yang memang sebelumnya tidak mempunyai ideologi. Media massa, tak lebih menjadi alat dari kapitalis atau menjadi “kuda” dari kepentingan politik pemilik modal. Dan kini bukan hal yang asing bila seorang penguasa, bisa memiliki media massa untuk kepentingan politiknya. Sebab, dengan kebebasan seperti sekarang, tak ada yang dapat melarang untuk menerbitkan media massa siapapun ia. Kuncinya berani “membeli” jurnalis” dengan tawaran upah yang menggiurkan.
Ketiga, realitas lain yang mengakibatkan pergeseran ideologi ini adalah, munculnya pengelola media massa “penembak” jitu. Ada sebuah media massa di Sumatra Bagian Selatan yang melakukan “penembakan” terhadap sebuah perusahaan tertentu, dengan tujuan agar perusahaan tersebut bersedia memasang iklan. Pada awanya, media ‘penembak jitu’ ini membeberkan kebobrokan perusahaan yang dimaksud, untuk kemudian pengelola media massa melakukan menosiasi untuk melaukan deal. Tujuannya jelas bukan berdasar pada keinginan meluruskan sistem yang ada di perusahaan tersebut, namun sebaliknya, ingin “dirangkul” perusahaan agar media tempat ia bekerja tetap hidup dan menghidupi jurnalisnya. Fantastsi memang. Perusahaan yang diserang, tanggap dan cerdas. Apalagi para petinggi perusahaan sudah melihat orientasi pengelola media. Tanpa ada pemberitaan sebelumnya, tiba-tiba pekan berikutnya, pemberitaan kebobrokan itu lenyap bagai di telan bumi. Dan selanjutnya muncul satu halaman penuh advetorial (khusus iklan) perusahaan tersebut, dengan kalimat yang menyegarkan. Sejak halaman “dibeli” tak ada lagi pemberitaan buruk bagi perusahaan yang sebelumnya “dihabisi” sampai kulit-kulitnya. Maka saat itulah, pengelola media dan jurnalisnya mengatakan, “selamat tinggal idealisme, dan selamat datang kapitalis”.
Dalam kondisi seperti ini, mungkin bukan saja kita, tetapi Tuhan sekalipun akan kesulitan menggelari jurnalis apa yang harus bekerja dibawah kepentingan itu. Mungkin, kita sama-sama harus mencari referensi itu. Kalaupuin tidak ketemu, mungkin, besok pagi, kita semua harus berlari menuju Tuhan, untuk kemudian kembali menanyakan tentang gelar bagi jurnalis seperti ini. Kini dan esok, semua pengelola media massa akan terus dihadapkan dua pilihan itu. Dilematis memang, tetapi setiap jurnalis harus memilih. Hanya hatinuranilah yang kemudian menentukan, akan dengan ideologi apa seorang jurnalis harus tetap menjaga nilai-nilai itu dalam kegiatan jurnalistiknya. Semua, kembali pada kedirian masing-masing jurnalis. (*)

*Imron Supriyadi, adalah Jurnalis dan Pelaku Seni di Palembang